MenaraToday.Com
– Jakarta :
Dengan pertimbangan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (3), Pasal 43B ayat (5), dan Pasal 43D
ayat (7) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
Sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang Nomor 15
Tahun 2003, pemerintah memandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan Terhadap Penyidik, Penuntut
Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan.
Atas pertimbangan tersebut,
pada 12 November 2019, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan
Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan
Perlindungan Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas
Pemasyarakatan. Dalam PP ini disebutkan, pemerintah wajib melakukan Pencegahan
Tindak Pidana Terorisme.
“Pencegahan sebagaimana
dimaksud dilakukan melalui:
a. Kesiapsiagaan Nasional;
b. Kontra Radikalisasi; dan
c. Deradikalisasi,” bunyi
Pasal 2 ayat (2) PP ini.
Disebutkan dalam PP ini,
Kesiapsiagaan Nasional dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait di bawah
koordinasi Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) melalui:
a. rapat koordinasi;
b. pertukaran data dan
informasi; dan
c. monitoring dan evaluasi.
Kesiapsiagaan Nasional,
menurut PP ini, dilakukan melalui:
a. pemberdayaan masyarakat;
b. peningkatan kemampuan
aparatur;
c. perlindungan dan
peningkatan sarana dan prasarana;
d. pengembangan kajian
Terorisme; dan
e. pemetaan wilayah rawan
paham radikal Terorisme. Adapun Kontra Radikalisasi dilakukan oleh
kementerian/lembaga terkait yang dikoordinasikan oleh BNPT, dan dapat
melibatkan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
“Kontra Radikalisasi
dilakukan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal
Terorisme,” bunyi Pasal 22 PP ini.
Orang atau kelompok orang
yang rentan terpapar paham radikal Terorisme sebagaimana dimaksud, menurut PP
ini, merupakan orang atau kelompok orang yang memenuhi kriteria:
1.Memiliki akses terhadap
informasi yang bermuatan paham radikal Terorisme;
2.Memiliki hubungan dengan
orang/kelompok orang yang diindikasikan memiliki paham radikal Terorisme;
3.Memiliki pemahaman
kebangsaan yang sempit yang mengarah pada paham radikal Terorisme; dan/atau
4.Memiliki kerentanan dari
aspek ekonomi, psikologi, dan/atau budaya sehingga mudah dipengaruhi oleh paham
radikal Terorisme.
Adapun Kontra Radikalisasi
sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dilakukan secara langsung atau tidak
langsung melalui:
a. kontra narasi;
b. kontra propanganda; dan
c. kontra ideologi.
“Dalam melaksanakan Kontra
Radikalisasi sebagaimana dimaksud dapat melibatkan masyarakat, di bawah
koordinasi BNPT yang melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Kontra
Radikalisasi,” bunyi Pasal 23 ayat (2,3,4) PP ini.
Untuk Deradikalisasi,
menurut PP ini, dilakukan kepada:
a. tersangka, terdakwa,
terpidana, dan narapidana Tindak Pidana Terorisme; dan
b. mantan narapidana
Terorisme, orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal
Terorisme.
Disebutkan dalam PP ini,
Deradikalisasi yang dilakukan kepada tersangka, terdakwa, terpidana, dan
narapidana Tindak Pidana Terorisme dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait
secara bersama.
Kementerian/lembaga terkait
itu paling sedikit meliput:
a. Kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manudia;
b. Kejaksaan Republik
Indonesia; da
c. Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
“Pelaksanaan Deradikalisasi
dikoordinasikan oleh BNPT, dapat melibatkan akademisi, praktisi, tokoh agama,
dan/atau tokoh masyarakat” bunyi Pasal 29 ayat (3,4) PP ini.
Sementara Deradikalisasi
yang dilakukan kepada mantan narapidana Terorisme, orang atau kelompok orang
yang sudah terpapar paham radikal Terorisme, menurut PP ini, dilaksanakan oleh
BNPT bekerja sama dengan kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah, serta
dapat mengikutseratakan pihak swasta atau masyarakat.
Menurut PP ini, BNPT sebagai
pusat analisis dan pengendalian krisis berwenang meminta data dan informasi
kepada kementerian/lembaga, dan kementerian/lembaga terkait wajib memberikan
data informasi sebagaimana diminta BNPT.
Sementara BNPT wajib menjaga
kerahasiaan data dan informasi yang disampaikan oleh kementerian/lembaga sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 78 Peraturan Pemerintah
Nomor 77 Tahun 2019, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna
H. Laoly pada 13 November 2019.(efrizal/tim)