Menaratoday.com - Tapsel
Insiden kecelakan kerja yang diakibatkan faktor alam (longsor dadakan) di lokasi PLTA Simarboru tepatnya di titik R26, Kelurahan Wek I, Batangtoru baru baru ini sampai menelan korban, mengingatkan kita kepada seruan para penggiat lingkungan hidup yang menentang pembangunan PLTA tersebut karna dinilai rawan bencana mengingat daerah tersebut berada tidak jauh dari daerah patahan
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang diproyeksikan menghasilkan arus listrik sebesar 510 watt itu dari awal sudah ditentang para aktivis lingkungan hidup dan malah sampai di gugat ke pengadilan. Namun perjuangan para penggiat lingkungan hidup tersebut harus menelan pil pahit karna gugatan nya ditolak meski sudah menghadirkan ahli geofisika yang juga memaparkan resiko yang akan dihadapi bila pembangunan PLTA tersebut dilanjutkan
"Insiden ini mengingatkan kita terhadap perjuangan rekan rekan dari Walhi dulu, dengan adanya musibah ini kita harapkan kepada pemerintah agar mengkaji ulang pembangunan PLTA tersebut karna sekarang sudah terbukti kultur tanah didaerah tersebut rawan bencana,"ujar Riswanto Hasibuan salah satu tokoh pemuda yang juga mengamati perkembangan pembangunan PLTA Simarboru
Lebih lanjut Riswan mengatakan bahwa daerah pembangunan PLTA Simarboru sesuai pernyataan ahli geofisika yang pernah dia ketahui berada di zona patahan
"Saya pernah baca di media massa komentar Teuku Abdullah Sany yang merupakan ahli geofisika mengatakan bahwa PLTA Batang Toru Ada di Zona Patahan, untuk itu harusnya pemerintah harus kembali melakukan pengkajian secara rinci,"harapnya
Sebelumnya Ahli Geofisika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Teuku Abdullah Sany pernah mengingatkan pemerintah agar mengkaji ulang secara terperinci pembangunan PLTA Simarboru, Hal itu dikatakan nya saat dihadirkan di PTUN Medan dalam sidang gugatan Walhi Sumut.
Seperti dilansir dari media online VOA Indonesia.com. Pakar geofisika Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan PLTA Batang Toru berada di zona patahan dan menyerukan dilakukannya penelitian detail agar pembangunan tersebut tak menimbulkan masalah besar.
Pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut) terus menuai kritik. Perizinan lingkungan pembangunan PLTA Batang Toru digugat oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut karena dookumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek itu dinilai belum memiliki kajian yang lengkap.
Persoalan pembangunan proyek tersebut bukan hanya sampai di situ. Menurut ahli geofisika, Teuku Abdullah Sanny, PLTA yang akan dibangun sepanjang 20 kilometer di tiga kecamatan yakni Batang Toru, Marancar, dan Sipirok dengan kapasitas 510 Mega Watt (MW) itu berada di daerah zona merah patahan atau rawan gempa.
Bendungan yang menjadi sumber energi tersebut juga menjadi momok menakutkan, meski tidak berada tepat di patahan. Namun vibrasi atau getaran gempa bisa membahayakan bendungan. Untuk itu dibutuhkan penelitian detail guna meyakinkan pembangunan proyek PLTA Batang Toru bisa dilanjutkan atau tidak bahkan dipindahkan.
"Di situ memang tidak ada patahan.Tapi dekat situ ada patahan sekitar 5 kilometer. Yang harus diperhitungkan bagaimana pengaruh patahan atau vibrasi terhadap bendungan itu dan perlu dilakukan penelitian detail. Artinya keamanan bagaimana sudah diperhitungkan dengan baik. Dalam laporan itu tidak ada," ujar Abdullah Sanny di Medan, Senin (7/1).
Berada di zona merah membuat proyek PLTA Batang Toru bisa membahayakan. Kata Abdullah, PT Hydro Energy Sumatra Utara yang merupakan pengembang PLTA Batang Toru harus memasukkan AMDAL soal geologi dan geofisika. Apalagi Indonesia merupakan negara yang berada di ring of fire, dan rawan gempa.
"AMDAL harus dimasukan soal geologi dan geofisika wajib. Apalagi negara kita rawan gempa, demi keamanan dari bendungan itu dan kelanjutan investasi. Kalau tidak itu akan menimbulkan problem besar," tambah Abdullah Sanny. (Ucok siregar)
Posting Komentar