Warga Rancapinang Desak Hentikan Proyek Yonif TP 842/Badak Sakti


MenaraToday.Com - Pandeglang : 

Suasana di Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten, kian diliputi ketegangan. Warga setempat secara bulat menyatakan penolakannya terhadap proyek pembangunan Yonif TP 842/Badak Sakti yang tengah digarap di wilayah mereka. Penolakan itu tidak sekadar teriakan di jalan, melainkan dituangkan secara resmi dalam surat peringatan bernomor 015/B/MANDAT-MDR/IX/2025, tertanggal 25 September 2025. Surat tersebut ditujukan kepada Kementerian Pertahanan RI melalui Kapuskon Baloghan, ditandatangani oleh Usep Saepudin sebagai penerima mandat masyarakat Desa Rancapinang, lengkap dengan materai dan cap resmi.

“Intinya, warga meminta agar proyek segera dihentikan. Kalau dipaksakan, ini bisa memicu keresahan dan konflik sosial,” tegas Usep kepada menaratoday.com. Sabtu (27/9/2025).

Dalam dokumen yang dibawa Usep, warga menyampaikan empat poin utama yang menjadi dasar keberatan mereka terhadap proyek yang dikerjakan oleh PT. Kartapati Wijaya Project KSO PT. Prada Cipta Areco:

1. Hasil musyawarah warga pasca aksi ke Kantor ATR/BPN Pandeglang, Bupati Pandeglang, dan DPRD Pandeglang, yang menyepakati penghentian proyek.

2. Status lahan masih bermasalah, karena terdapat objek sengketa dan belum ada kejelasan hukum tetap.

3. Rujukan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Pasal 67 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan asas status quo hingga ada keputusan hukum final.

4. Meningkatnya eskalasi sosial di masyarakat, dengan potensi memicu konflik horizontal maupun vertikal. 

“Empat alasan ini sudah cukup jelas. Bukan berarti kami anti pembangunan, tapi jangan mengorbankan warga dengan proyek yang dasarnya saja belum tuntas,” ujar Usep.

Lebih jauh, jelasnya, warga Rancapinang menegaskan tiga tuntutan kepada Kementerian Pertahanan RI:

1. Menghentikan seluruh kegiatan pembangunan Yonif TP 842/Badak Sakti di Rancapinang.

2. Memerintahkan pelaksana proyek segera mengosongkan lokasi dalam waktu 5 x 24 jam sejak surat diterima.

3. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dasar hukum, kelayakan, serta keberlanjutan proyek. 

“Kalau tidak segera direspons, kami khawatir emosi warga akan sulit dikendalikan,” kata Usep.

Bagi masyarakat Rancapinang, lanjut Usep, persoalan ini bukan hanya soal menolak sebuah proyek. Mereka melihatnya sebagai perjuangan mempertahankan hak atas tanah dan ruang hidup.

“Yang kami minta hanya kejelasan. Jangan sampai pembangunan dilakukan di atas lahan yang masih bersengketa. Kalau dibiarkan, ini bisa memicu konflik lebih besar,” ucap Usep.

Kasus Rancapinang menambah panjang daftar problem agraria di Pandeglang. Sengketa tanah, pembangunan yang dianggap tak berpihak pada warga, hingga minimnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, berulang kali menjadi sumber gesekan.

Kini, warga menunggu apakah suara mereka akan didengar oleh Kementerian Pertahanan, atau justru diabaikan dengan alasan pembangunan nasional. (ILA)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama