MenaraToday.Com - Pandeglang :
Siapa sangka, seorang santri asal pelosok Pandeglang kini berhasil menjejakkan kaki di salah satu universitas paling bergengsi di dunia, Harvard University.
Dialah Muhamad Yani, lulusan Pondok Pesantren Darul Fattah Gunung Batu, Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten, yang kini menempuh pendidikan magister di Harvard Graduate School of Education, mengambil jurusan School Counseling Strand.
Dalam sepenggal kisah perjalanannya selama menjadi anak santri di Darul Fattah, Gunung Batu Cibaliung, Yani menuturkan Banyak pengalaman berkesan. Salah satunya bisa membaca Al Qur'an dan bertanggung jawab pada diri sendiri.
"Aku bisa lebih damai dengan diriku sendiri karena setiap aku punya mimpi aku selalu inget ayat-ayat Al-Quran yang menenangkan dan juga pentingnya shalat, gak cuman itu Aku bisa lebih bertanggung jawab untuk diriku sendiri ya karena meskipun pesantren deket rumah, setidaknya aku bisa hidup lebih mandiri dan tidak ketergantungan pada orang tua untuk mengurus hal hal kecil, misal masak atau nyuci. Dan itu terbukti sekarang ketika Allah mentakdirkan pergi sangat jauh dari negara sendiri," ungkap Yani kepada menaratoday.com. Rabu (22/10/2025).
Perjalanan Yani menuju Harvard bukanlah kisah yang instan. Lahir dan tumbuh dari keluarga pedagang nasi goreng emperan pinggir jalan, ayahnya tidak sempat mengenyam pendidikan formal tinggi, sementara sang ibu hanya lulusan sekolah dasar. Namun, keterbatasan itu justru menjadi bahan bakar semangatnya untuk belajar.
“Nak, cukup ibu dan bapak yang tidak punya pendidikan tinggi. Kamu harus bisa sekolah setinggi-tingginya,” begitu pesan yang terus Yani pegang dari orang tuanya.
Sebelum sampai di Harvard, Yani sempat mengalami kegagalan. Ia pernah mendaftar beasiswa LPDP Batch 1 dan diterima di Columbia University, namun ditolak karena belum memiliki sertifikat kemampuan bahasa Inggris. Alih-alih menyerah, Yani menata ulang strateginya.
Sejak tahun 2022, ia memulai perjuangan dari nol. Ia rutin berlatih speaking, writing, dan belajar bersama hingga akhirnya berhasil menembus skor IELTS 8.5 skor yang sangat tinggi bahkan untuk penutur asli bahasa Inggris sekalipun.
“Kuncinya sederhana, terus ulangi sampai kamu terasa ‘biasa’. Rutinitas kecil tapi jujur setiap hari,” ujarnya.
Sebagai seorang santri, nilai-nilai kedisiplinan dan keikhlasan sudah menjadi bagian hidupnya. Ia terbiasa bangun lebih pagi, menghormati guru, serta menjaga ritme belajar secara konsisten.
“Bangun pagi, jaga adab pada guru, dan terus muroja'ah itulah yang saya terapkan juga dalam belajar IELTS,” ujarnya.
Kini, Yani menempuh program Master of School Counseling di Harvard dengan semangat untuk memberikan kontribusi nyata bagi pendidikan Indonesia. Ia ingin menjadi jembatan antara sekolah, keluarga, dan komunitas dalam membantu siswa berkembang secara utuh, bukan hanya mengejar nilai di rapor.
“Saya ingin membantu siswa tumbuh secara utuh, bukan sekadar angka di lembaran rapor,” tutur Yani.
Dalam pesannya, Yani menekankan bahwa mimpi besar bukan milik orang-orang di kota besar saja.
“Man jadda wajada, Man Khoroja Washalla....ini jadi slogan aku kemanapun pergi, dan dalam setiap kondisi yang tidak pasti bahkan tidak nyaman, aku selalu ingat akan Allah karena Allah tahu segala hal yang baik untuk diriku jadi tawakal setelah ikhtiar. Mimpimu valid untuk kampus mana pun. Mulailah dari langkah kecil hari ini. Jaga adab dan ritme belajar, biarkan karaktermu yang berbicara, bukan hanya CV-mu,” ujarnya mantap.
Kisah Yani kini menjadi inspirasi banyak santri di seluruh Indonesia. Ia menjadi bukti bahwa tekad, disiplin, dan nilai-nilai pesantren mampu membawa seseorang hingga ke universitas ternama di dunia. (ILA)

