MenaraToday.Com - Lebak :
Di sebuah sudut terpencil Kampung Babakan Kembang, RT 012/003, Desa Lebak Kesuk, Kecamatan Banjar Sari, Kabupaten Lebak, Banten, kisah memilukan terungkap tentang perjuangan seorang ibu melawan rasa takut, kemiskinan, dan keterbatasan layanan kesehatan jiwa. Santi (53), seorang janda yang hidup serba kekurangan, terpaksa mengurung putri kandungnya sendiri, Amnah (25), yang mengalami gangguan jiwa berat, dalam ruangan sempit berukuran 2x3 meter selama tujuh tahun terakhir.
Ruangan tanpa jendela di belakang rumah itu menjadi dunia Amnah sejak 2018. Di sanalah ia tidur, makan, menangis, dan menghabiskan hari-harinya tanpa perawatan medis yang seharusnya ia dapatkan.
Santi mengaku keputusan ekstrem itu ia ambil setelah kondisi Amnah memburuk di usia remaja. Gangguan mental yang dialami putrinya berkembang menjadi perilaku agresif yang sulit dikendalikan.
“Saya takut mati di tangan anak sendiri. Dia sering ngamuk, lempar batu ke tetangga, bahkan pernah membacok saya pakai parang,” ucap Santi terbata-bata. Sabtu (22/11/2025).
Luka bekas insiden itu masih terlihat samar di lengan dan bahunya. Santi bukan bermaksud menghukum anaknya. Ia hanya seorang ibu yang merasa tidak punya pilihan lain, antara menyelamatkan diri dan menjaga keselamatan warga sekitar.
Ketika relawan akhirnya dapat masuk ke ruang pengurungan itu, mereka mendapati kondisi Amnah yang sangat memprihatinkan. Tubuh kurus kering dan dipenuhi luka rambut gimbal yang menutupi hampir seluruh wajah.
Hanya mengenakan kain lusuh, Bicara tidak jelas, kadang berteriak sendiri, Tidak pernah mendapatkan pengobatan jiwa sejak awal gejala muncul.
Dalam tujuh tahun itu, Amnah hanya keluar sesekali untuk mandi atau buang air, itu pun dengan pengawasan ketat dan tangan terikat agar tidak melukai orang lain.
Santi hidup dari pekerjaan serabutan setelah suaminya meninggal. Pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi biaya pengobatan jiwa yang menurutnya “terlalu mahal untuk orang miskin seperti dirinya.”
“Saya sudah coba kumpulkan uang, tapi biayanya jutaan. Mana saya mampu bawa anak saya ke rumah sakit jiwa?” keluhnya lirih.
Kampung Babakan Kembang yang terpencil juga menjadi tantangan tersendiri. Fasilitas kesehatan mental hampir tidak tersedia. Petugas medis hanya datang beberapa kali dalam setahun, itu pun untuk layanan dasar.
Kini, setelah bertahun-tahun memendam ketakutan dan keputusasaan, Santi akhirnya memberanikan diri meminta pertolongan.
Ia memohon kepada Pemerintah Kabupaten Lebak, Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Sosial RI, untuk segera mengevakuasi Amnah dan memberinya perawatan profesional.
“Saya ingin anak saya sembuh. Tolong evakuasi Amnah ke rumah sakit jiwa. Saya sudah tidak sanggup lagi,” katanya sambil menangis.
Kisah Santi dan Amnah bukan satu-satunya di pelosok Indonesia, di mana kemiskinan dan minimnya layanan kesehatan jiwa sering membuat keluarga terpaksa mengambil langkah-langkah yang membahayakan.
Di Kampung Babakan Kembang, suara lirih seorang ibu kini menggema, menunggu kepedulian pemerintah dan masyarakat. Santi tidak meminta banyak—hanya kesempatan bagi putrinya untuk hidup layak dan mendapatkan perawatan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara.
Ia berharap pintu ruangan 2x3 meter yang selama tujuh tahun menjadi “penjara” bagi Amnah akhirnya bisa terbuka menuju jalan penyembuhan. (ILA)
