MenaraToday.Com - Pandeglang :
Di tengah merosotnya geliat pariwisata Carita, sebuah penginapan tua bernama Desiana Cottages masih berusaha mempertahankan nyala hidupnya. Tak lagi tampak megah seperti masa jayanya, bangunan-bangunan tua itu kini berdiri sebagai penanda waktu dan saksi ketangguhan orang-orang yang merawatnya.
Salah satu sosok yang setia menjaga napas penginapan ini adalah Hanan, atau yang akrab disapa Anang (56). Ia mulai bekerja sejak Desiana Cottages berdiri pada tahun 1989, ketika Carita dikenal sebagai salah satu destinasi populer di pesisir Banten. Kala itu, wisatawan datang silih berganti, memenuhi keluar-masuk cottage sambil membawa cerita liburan yang menyenangkan.
“Carita dulu ramai sekali. Tiap akhir pekan penuh, apalagi liburan panjang,” kenangnya. “Sekarang… ya begini.”
Waktu berjalan, keadaan berubah. Dari tarif menginap yang dulu mencapai Rp2,5 juta, kini harga harus diturunkan menjadi Rp1,5 juta. Itu pun dengan berbagai catatan: hampir semua fasilitas yang dulu menjadi daya tarik kini tak lagi tersedia.
“Sudah kami jelaskan dari awal, harga segitu tanpa fasilitas apa pun,” ujar Anang. “Tidak ada TV, AC, kipas. Hanya kamar, kasur, dan kamar mandi. Kalau mereka mau silakan, tidak pun tidak apa-apa.” ucapnya
Dari total 20 unit cottage yang pernah berdiri, hanya 15 unit yang masih bisa dipakai. Bangunannya dibiarkan apa adanya, dinding yang mulai kusam, kayu-kayu yang menua, dan atap yang memerlukan perbaikan. Renovasi menjadi hal yang sulit dilakukan.
“Pemilik utamanya sudah meninggal. Sekarang dikelola cucunya yang masih kuliah. Jadi ya… kurang fokus,” kata Anang, mencoba maklum.
Sumber pemasukan utama kini bukan lagi dari tamu yang menginap, melainkan pengunjung one day tour yang datang menggunakan bus pariwisata. Desiana Cottages mematok tarif Rp800 ribu per bus, termasuk akses bermain di pantai dan penggunaan aula. Namun jumlah itu masih harus dipotong untuk fee sopir dan calo.
“Bersihnya kami terima paling Rp500 ribuan. Lumayan untuk kondisi ekonomi sekarang,” tutur Anang.
“Yang penting operasional jalan dan pekerja tetap digaji,”
Wisata pantai sendiri tidak dibuka untuk umum demi menjaga ketertiban area. Rombongan bus pun menjadi pilihan paling realistis untuk menjaga penginapan tetap hidup meski dengan pemasukan terbatas.
Lebih dari tiga dekade bekerja di tempat yang telah dianggapnya rumah, Anang menyimpan kerinduan yang mendalam. Ia ingat betul masa ketika Carita menjadi primadona wisata, ketika suara pengunjung tak pernah berhenti dan setiap sudut cottage bernapas penuh kehidupan.
“Harapan saya, pariwisata Carita bisa kembali seperti dulu,” ucapnya pelan. “Rasanya sayang kalau tempat ini hilang begitu saja.”
Kini, Desiana Cottages berdiri tanpa gemerlap, tanpa kemewahan. Namun justru dari kesederhanaan itulah penginapan ini menunjukkan ketangguhannya. Ia melayani siapa pun yang datang, sekecil apa pun pemasukan yang diberikan.
Di tengah badai ekonomi dan sektor pariwisata yang meredup, Desiana Cottages menjadi simbol ketahanan: tempat yang menua namun tetap berharap, penjaga setia yang menunggu hari ketika Carita kembali menemukan sinarnya. (ILA)
