MenaraToday.Com - Asahan :
Di tengah arus informasi yang kian cepat dan konten digital yang silih berganti tanpa jejak, muncul sosok yang memilih jalur berbeda: menghidupkan kembali sejarah lokal. Suheri—atau yang akrab dikenal sebagai Heri Terajana—menjadi salah satu contoh bahwa kecintaan pada tanah kelahiran dapat melahirkan karya yang tidak hanya memotret masa lalu, tetapi juga menghubungkan masyarakat dengan identitasnya.
Setelah bertahun-tahun berkecimpung di dunia jurnalistik, Heri sempat vakum. Namun jeda itu tidak membuat dirinya kehilangan naluri bercerita. Ia kembali, bukan sebagai wartawan di balik teks berita, tetapi sebagai konten kreator sejarah yang terjun langsung ke lokasi, menggali memori kolektif masyarakat Asahan dari sumber-sumber yang masih hidup: para tetua, keluarga pewaris kisah, dan saksi-saksi zaman.
Di tengah hiruk pikuk konten yang kerap lebih mementingkan sensasi, langkah Heri patut diapresiasi. Ia memilih jalan sunyi: mengetuk pintu-pintu rumah lama, menelisik bangunan peninggalan kolonial, menanyai kembali sejarah jalan-jalan di Kota Kisaran, hingga menyingkap legenda dan misteri yang selama ini hanya beredar dari mulut ke mulut. Hasilnya? Ratusan ribu penonton yang bukan hanya menikmati, tetapi tergerak untuk kembali memerhatikan sejarah daerahnya.
Lebih dari sekedar nostalgia, upaya ini menghadirkan nilai penting. Daerah yang mengenal sejarahnya adalah daerah yang mengenal jati dirinya. Di tengah gempuran modernisasi, dokumentasi sejarah lokal sering terabaikan. Banyak bangunan tua diruntuhkan, kisah-kisah tokoh hilang bersama waktu, dan generasi muda lebih mengenal sejarah luar negeri daripada asal-usul kampung halamannya sendiri.
Melalui pendekatan visual dan pemanfaatan teknologi AI, Heri berhasil membuat sejarah terasa hidup. Bukan hanya informatif, tetapi juga mampu menggugah rasa penasaran. Bahkan ketika kritik muncul di kolom komentar—sebuah dinamika yang tak terpisahkan di dunia digital—Heri mengambilnya sebagai bahan evaluasi, bukan hambatan. Sikap ini menunjukkan profesionalisme yang dulu ia bangun sebagai jurnalis tidak pernah benar-benar padam.
Namun, upaya personal seperti ini tentu tidak bisa berdiri sendiri. Perlu ada dukungan pemerintah daerah, lembaga budaya, dan masyarakat untuk memastikan bahwa sejarah Asahan tidak hanya terekam melalui konten media sosial, tetapi juga terdokumentasi secara resmi, terarsipkan, dan dapat menjadi sumber pembelajaran generasi mendatang.
Heri Terajana telah menunjukkan bahwa pelestarian sejarah dapat dilakukan dengan cara yang kreatif dan dekat dengan publik. Ia memberi teladan bahwa kecintaan pada daerah bukan hanya berupa slogan, tetapi kerja nyata: turun ke lapangan, menggali data, mengolah cerita, dan menyajikannya dengan penuh dedikasi.
Di tengah era digital yang serba cepat, langkah seperti ini layak diapresiasi, didukung, dan diikuti.
Tetap semangat, Kang Heri. Asahan butuh lebih banyak pencerita sepertimu. (***)
