MenaraToday.Com - Pandeglang :
Di tengah keteduhan rimba Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), tempat Badak Jawa salah satu mamalia paling langka di dunia bernaung, suara mesin gergaji pada 21 Juni 2025 memecah kesunyian. Dua warga, Amirudin (61) dan Arsana (41), tertangkap tangan menebang pohon Kecapi di Blok Kubang Badak, Resor PTN Kopi, Seksi PTN Wilayah III Sumur.
Tindakan itu bukan hanya menyalahi aturan, tetapi juga mencederai ekosistem yang selama ini dijaga ketat oleh Balai TNUK. Keduanya kemudian diserahkan ke Polsek Cimanggu dan kasusnya diproses di Pengadilan Negeri Pandeglang berdasarkan UU No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Kepala Balai TNUK, Ardi Andono, S.TP., M.Sc., mengungkapkan keprihatinannya.
“Penebangan pohon dapat mengganggu ekosistem TNUK yang merupakan habitat penting satwa dilindungi, termasuk Badak Jawa,” ujar Kepala Balai TNUK, Ardi Andono, S.TP., M.Sc. Rabu (19/11/2025).
Kecapi, menurut Ardi, yang bagi sebagian warga dianggap pohon biasa, memiliki peran ekologis penting. Kanopinya menjadi peneduh alami, buahnya menjadi pakan satwa tertentu, dan keberadaannya berkontribusi pada keseimbangan vegetasi hutan dataran rendah Ujung Kulon.
Namun, Ardi menegaskan, di balik tindakan hukum ini, bahwa pendekatan represif bukanlah pilihan pertama. Balai TNUK telah berulang kali melakukan pendekatan restoratif kepada pelaku dan masyarakat sekitar kawasan. Sayangnya, pelanggaran yang terjadi kali ini merupakan pengulangan.
“Kami sudah mencoba jalur pembinaan. Tapi demi menjaga kelestarian, penegakan hukum harus dijalankan,” tegasnya.
Meski proses hukum tetap berjalan, lanjut Ardi, TNUK menunjukkan sisi manusiawinya. Balai memberikan bantuan kepada keluarga kedua terdakwa.
"Langkah ini menjadi penegas bahwa konservasi bukan sekadar aturan, tetapi juga soal menjaga hubungan sosial dengan masyarakat penyangga kawasan," jelasnya.
Tantangan terbesar konservasi di Ujung Kulon, masih kata Ardi, bukan hanya perburuan atau penebangan pohon, tetapi juga kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar. Untuk menjawab persoalan itu, Balai TNUK aktif menggulirkan berbagai program pemberdayaan.
"Lebih dari 1200 kepala keluarga terlibat dalam inisiatif seperti, bantuan ekonomi langsung, kelompok madu hutan, kelompok tani, kemitraan konservasi, yang memberi alternatif penghasilan selain pemanfaatan ilegal kawasan," tandasnya.
Tak berhenti di situ, Ardi menjelaskan, TNUK mengembangkan pendekatan “5 Pagar”, yakni Pagar Ekonomi, Sosial, Budaya, Kehidupan, dan Pendidikan, sebagai model membangun kedekatan antara masyarakat dan kawasan konservasi.
"Program-program ini bertujuan menciptakan hubungan saling menjaga: masyarakat mendapat manfaat, sementara hutan tetap lestari," ungkapnya.
Ardi menuturkan, kasus yang menimpa Amirudin dan Arsana menjadi cermin dilema yang kerap muncul di kawasan konservasi, tekanan ekonomi yang berbenturan dengan upaya pelestarian. Namun, peristiwa ini juga mengingatkan pentingnya komitmen bersama.
"Hutan Ujung Kulon bukan hanya ruang hidup Badak Jawa, tetapi juga sumber kehidupan bagi ribuan keluarga di sekelilingnya. Ketika satu pohon tumbang secara ilegal, yang goyah bukan hanya batang kayu itu, tetapi juga harmoni ekologis dan sosial yang telah dibangun dengan susah payah," pungkasnya.
Dengan penegakan hukum yang tegas, program pemberdayaan yang terus berjalan, serta kesadaran masyarakat yang semakin tumbuh, harapan untuk menjaga Ujung Kulon tetap hijau dan aman bagi semua makhluk termasuk manusianya masih sangat mungkin diwujudkan. (ILA)
