MenaraToday.Com - Pandeglang :
Di bawah terik matahari siang, gelombang kecil di pesisir Teluk kembali membawa kabar buruk: tumpukan sampah plastik yang mengapung, sebagian di antaranya baru saja terlihat dilemparkan oleh oknum warga. Pemandangan itu membuat Kepala Desa Teluk, Sofyan Hadi, menggeleng kecewa. Ia mengaku geram sekaligus lelah menghadapi persoalan sampah yang seolah tak berkesudahan.
“Kebenaran banget ada yang buang, jadi kasaksian. Bener kan yang selalu saya omongin… kesadaran itu yang sulit,” ujarnya kepada menaratoday.com. Sabtu (15/11/2025).
Pantai Teluk pernah mendapat sorotan nasional setelah dinobatkan sebagai salah satu pantai terkotor oleh komunitas Pandawara. Sejak itu, upaya kebersihan dilakukan besar-besaran. Namun, keberlanjutan masih menjadi masalah utama.
“Ditegur mah ditegur, buktinya masih buang sampah sembarangan,” kata Ian sapaan akrab Sofyan Hadi.
Ian menuturkan, sejak dirinya dilantik pada November 2021, langsung menjadikan pengelolaan sampah sebagai prioritas. Program bersih-bersih dimulai dari kerja bakti pada Desember, lalu dilanjutkan dengan menghadirkan bak kontainer dan sistem iuran warga.
Namun program itu hanya bertahan enam bulan.
Menurutnya, empat orang pekerja yang ditugaskan mengangkut sampah membutuhkan gaji total Rp. 6 juta per bulan. Sementara dua bak kontainer memerlukan biaya Rp2,5 juta, dan petugas penagihan mendapat Rp500 ribu per bulan. Total kebutuhan operasional mencapai Rp. 9 juta setiap bulan.
“Nyatanya, pemasukan dari kontribusi warga jauh di bawah itu. Kurang dari Rp5 juta sebulan,” ungkapnya.
Selama enam bulan berjalan, kekurangan biaya mencapai sekitar Rp. 12 juta, angka yang membuat program tidak lagi mampu beroperasi.
Padahal, masih kata Ian, dari dua RW, yakni RW 11 dan RW 12 yang terdiri dari sekitar 500 rumah, volume sampah sangat besar.
“Tiga hari saja bisa menghasilkan dua bak kontainer mobil. Kebayang, kan,” ujarnya.
Penagihan iuran dilakukan setiap dua hari sekali dengan tarif Rp. 2.000, tetapi banyak warga yang enggan membayar.
Di antara keluhan dan kelelahan itu, Ian tetap berharap perubahan bisa terjadi dari tingkat paling dasar: rumah tangga. Menurutnya, keberhasilan program kebersihan bukan hanya soal alat atau anggaran, tetapi kemauan warga menjaga lingkungannya sendiri.
“Kalau berjalan mah atuh bersih. Tapi kalau yang ngangkut aja nombok, ya kolaps,” ucapnya.
Kini, tiap sampah yang kembali mengotori laut seperti menegaskan bahwa pekerjaan rumah mereka belum selesai. Pantai Teluk mungkin pernah disebut kotor, tetapi label itu bukan hukuman, melainkan pengingat agar seluruh warga kembali terlibat dalam merawat lingkungan.
Harapan Ian sederhana, agar masyarakat berhenti membuang sampah ke laut dan mau berkontribusi dalam sistem pengelolaan yang lebih baik.
"Sebab, tanpa perubahan itu, pesisir Teluk akan terus menanggung akibatnya hari ini, besok, dan mungkin jauh setelahnya,"ucapnya (ILA)
