MenaraToday.Com -
Surabaya :
Pelaku bisnis
kepelabuhanan di Tanjung Perak Surabaya yang tergabung dalam Forum Komunikasi
Asosiasi Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya meminta Ketua DPD RI membantu
mencarikan solusi atas sejumlah permasalahan yang terjadi di lingkungan
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Hal ini penting dilakukan agar kinerja bisnis
kepelabuhanan di Surabaya bisa kembali bangkit di era kenormalan baru.
"Ada
banyak persoalan yang selama ini membelit kami dalam menjalankan aktifitas
ekonomi di Tanjung Perak. Untuk itulah kami meminta Ketua DPD RI untuk membantu
kami, menampung keluhan-keluhan kami dan mencarikan solusinya," ujar Ketua
Forum Komunikasi Asosiasi Kepelabuhanan Tanjung Perak Surabaya, Henky Pratoko
yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah ALFI Jatim saat
bertemu Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Surabaya, Selasa
(11/8/2020).
Hadir dalam
kesempatan tersebut, perwakilan Organisasi Angkutan Darat (Organda) Tanjung
Perak, Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat (APBMI) Jatim, Asosiasi Logistik dan
Forwarder Indonesia (ALFI) Jawa Timur, Indonesian National Shipowners
Association (INSA) Jatim, Gabungan Importir Seluruh Indonesia (Ginsi) Jatim,
Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim dan Asosiasi Depo Kontrainer
Indonesia (Asdeki)
Lebih lanjut
Henky mengatakan pandemi Covid-19 telah mengakibatkan seluruh aktifitas ekonomi
di dalam negeri tersendat atau bahkan terhenti, tidak terkecuali bisnis
kepelabuhanan di lingkungan Tanjung Perak Surabaya.
Agar aktifitas
bisnis bisa kembali bangkit, maka ia berharap di masa pandemi ini pemerintah
memberikan toleransi yang tinggi pada dunia usaha dengan mengedepankan
pelayanan dan bukan pada sisi menegakkan peraturan belaka.
"Kami
dari dunia usaha sedang berjibaku untuk mempertahankan kegiatan usaha yang pada
akhirnya akan memberikan kontribusi riil pada dinamika ekonomi nasional. Kami
mengharapkan sekali dalam masa-masa memasuki New Normal, Pemerintah memberikan
toleransi yang tinggi dan juga tidak menerbitkan peraturan-peraturan yang justru
memberatkan dunia usaha," ungkap Henky.
Ia
mencontohkan, beberapa peraturan yang selama ini menyulitkan pengusaha,
diantaranya aturan tentang Persetujuan Impor (PI) yang menyulitkan pelaku
importir karena untuk memperolehnya cukup rumit dan lama. Hal ini berdampak
pada tersendat dan kurangnya pasokan bahan baku industri yang akhirnya membuat
proses produksi terpaksa berhenti.
"Karena
ketergantungan bahan baku sangat tinggi. Dan kondisi ini tidak hanya terjadi
pada impor bahan baku besi dan baja serta produk turunannya, tetapi juga pada
impor bahan baku tekstil dan bahan baku pakan ternak," ujarnya.
Selain itu,
perlu adanya insentif dan relaksasi biaya untuk pelaku logistik di Jatim selama
upaya-upaya pemulihan usaha dalam masa New Normal. Karena beberapa kebijakan
pemerintah masih belum menyentuh pada pelaku secara menyeluruh. "Insentif
dan relaksasi ini penting untuk mancing pengusaha agar kembali bangkit,"
tegasnya.
Henky juga
mengatakan perlunya menertibkan lagi instansi pemerintah yang terkait dalam
tata laksana ekspor dan impor untuk memasukkan Lartas atau Larangan dan
Pembatasan ke dalam sistem Indonesia National Single Window (INSW) yang menjadi
mandatori pelaksanaannya. Sebab beberapa kebijakan kementerian terkait Lartas
ternyata belum semuanya dimasukkan dalam sistem INSW. Sehingga dalam prakteknya
hal ini masih jauh dari sempurna dan akan merepotkan pelaku usaha.
Dan guna
menggairahkan kembali dunia usaha, lanjutnya, perlu tatanan Nasional Ekosistem
Logistik juga yaitu dengan cara menegaskan peranan masing-masing instansi
pemerintah tanpa melampaui batas kewenangan yang dimiliki. Khususnya praktik
untuk selalu mencari kesalahan yang tidak prinsipil dari pelaku usaha.
"Campur
tangan aparat kepolisian dalam rangkaian kegiatan usaha jasa logistik juga
masih mengganggu dunia usaha sampai saat ini. Hal ini akan berkontribusi pada
ekonomi biaya tinggi. Karena pelanggaran yang dituduhkan tidak diselesaikan
melalui proses hukum yang semestinya," tandasnya.
Pada
kesempatan tersebut, Henky juga mengkritisi tentang mudahnya ijin berusaha yang
diberikan kepada PT Pelindo 3 oleh Kementerian BUMN dengan melakukan investasi
usaha yang bukan core businesnya, contohnya pengadaan atau menambah armada truk
atau trailer.
"Tentunya
aksi bisnis ini akan merusak pasar dengan memasuki wilayah market lini dua yang
sudah ditangani oleh anggota asosiasi angkutan darat yang terkait," kata
Henky
Di sisi lain,
juga ada kasus ketidaktaatan Terminal Teluk Lamong terhadap perjanjian
kerjasama dengan Organda dalam hal penyediaan truk dan trailer berbahan baku
gas (BBG) ramah lingkungan di lingkungan Teluk Lamong.
"Awalnya,
ada kerjasama antara Organda dengan Teluk Lamong untuk menyediakan angkutan
ramah lingkungan. Dan oleh organda sudah dilaksanakan hingga di pertengahan
tahun 2016 sekitar 50 unit lebih truk dan trailer BBG yang telah disediakan.
Tetapi di akhir tahun 2016, kebijakan berubah. Teluk Lamong mempersilahkan truk
berbahan baku solar beroperasi di sana. Ini sangat merugikan Organda hingga
akhirnya tidak mampu beroperasi lagi karena kalah bersaing," tambahnya.
Menanggapi
keluhan mereka, AA LaNyalla mengucapkan terimakasih kepada Forum Komunikasi
Asosiasi Kepelabuhanan Tanjung Perak Surabaya karena telah menyampaikan
aspirasi tersebut.
"Silahkan
pada masing masing asosiasi menyampaikan aspirasinya secara tertulis dan nanti
akan kita bahas apa yang menjadi subtansi permasalahannya. Nanti kita teruskan
ke masing-masing menteri terkait. Kalau perlu, kami juga akan menyampaikan ke
presiden, karena saya secara berkala berkomunikasi dengan presiden,"
pungkas LaNyalla (Efrizal)